Featured, Kolom

Dua Lelaki Terpikat Buku

Buku memberi pereda frustrasi bagi dua remaja bernama Hamka dan Mahbub Djunaidi. Kehidupan masa bocah dan remaja dijalani dengan perintah-perintah bersekolah dan mengaji: menghabiskan hari-hari menjemukan. Di sekolah, mereka sering mengeluh tak mendapat kegembiraan. Mengaji di sekolah sore pun sering tanpa gairah akibat lelah. Jam-jam bermain tentu berkurang. Perintah menjadi pintar dan alim mengondisikan Hamka (1908-1981) dan Mahbub Djunaidi (1933-1995) dalam dilema-dilema, menuruti perintah orangtua atau membuat “perlawanan.”

Hamka berkisah bahwa bersekolah mengandung percampuran derita dan pengharapan. Di buku Kenang-Kenangan Hidup (1951), Hamka mengenang: “Di antara banjak guru-guru, baik di Sekolah Desa (pagi) atau di Sekolah Arab (sore), hanja seorang jang menarik hati. Kalau guru itu masuk kelas, terbuka pikiran… Dia tidak banjak melarang tetapi menggembirakan pekerdjaan murid-murid.” Guru-guru lain dianggap guru tak baik: suka memerintah, marah, memukul dengan rotan.

Hamka diinginkan sang bapak menjadi ulama, diperintahkan menekuni pelajaran-pelajaran agama. Pelajaran-pelajaran tentang agama, mengacu ke kitab-kitab  dari Mesir diajarkan ke Hamka tapi sulit dipahami. Hamka cuma menggandrungi satu pelajaran: Sha’er Arab. Situasi hidup bergelimang pelajaran ditanggung Hamka saat berusia 12 tahun. Hari-hari perlahan berubah.

Buku-buku sanggup menggairahkan hari-hari bagi remaja di Maninjau, Sumatra Barat. Hamka mengenang: “Masa itu Engku Zainuddin Labai membuka sebuah kutub khanah, mempersewakan buku. Buku-buku Volkslectuur (Balai Poestaka), buku-buku salinan Tionghoa Melaju: Tiga Panglima Perang, Graaf De Monte Cristo dan banjak lagi buku-buku jang lain. Di antaranja ialah Asia Timur, Kisah Perjuangan Rus-Japan. Ada djuga surat kabar Bintang Hindia memuat karangan Abdul Rivai di Eropah.”

Pikat buku mengubah hidup. Hari-hari tak selalu menjemukan. Hamka selalu berkeinginan dan bergairah membaca. Petang, Hamka melangkahkan kaki datang ke perpustakaan untuk meminjam buku. Uang saku dikumpulkan demi sewa buku, tak semua untuk jajan. Gairah baca tak terbendung. Buku-buku pinjaman lekas selesai. Hamka kebingungan untuk menambahi daftar buku pinjaman. Uang saku terbatas, tak mungkin bisa digunakan untuk meminjam semua buku.

Hari-hari bersama buku. Hamka mengaku: “Lantaran membatja buku-buku itu, terbukalah khajal beberapa dunia jang belum dikenal, buruknja atau baiknja, pahit atau manisnja.” Gairah membaca justru mendapat tentangan dari bapak. Keinginan bapak agar Hamka menjadi alim mulai mendapai pesimisme. Sang bapak berkata: “Apakah engkau akan mendjadi orang alim nanti atau akan djadi tukang tjerita?”

Baca Juga:  Ilusi Inklusivitas Demokrasi

Puluhan tahun usai perkataan bapak, Hamka menjadi ulama dan sastrawan. Ampuh! Kita mendapat warisan bacaan agama dan cerita karangan Hamka: Pribadi, Peladjaran Agama Islam, Revolusi Agama, 1001 Soal-Soal Hidup, Ajahku, Kenang-Kenangan Hidup, Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck, Di Dalam Lembah Kehidupan, Merantau ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka’bah.

Di Solo, Mahbub Djunaidi mengalami peristiwa hampir sama dengan Hamka. Mahbub dan keluarga mengungsi dari Jakarta ke Solo (Jawa Tengah) akibat revolusi, 1946. Sekolah Mahbub jadi tak keruan. Perpindahan ke Solo mengharuskan Mahbub melanjutkan sekolah saat sudah berusia 12 tahun. Mahbub bersekolah di daerah Kauman, Solo. Di buku Dari Hari ke Hari (1975), Mahbub mengenang: “Ini baru namanya sekolah karena menyenangkan. Memang sukar membedakannya dengan rumah penduduk di sebelah kalau tidak membaca papan namanya, lagi pula di gang sempit, dan halamannya pun sempit, tak bisa menampung 25 anak berhimpit-himpitan. Seratus persen buruk ditilik dari tata kota. Tapi apa peduliku.” Mahbub berhasil bersekolah.

Beban semakin bertambah saat sang bapak memerintahkan Mahbub juga mengikuti sekolah agama saat sore alias mengaji. Bapak menginginkan Mahbub memiliki pengetahuan agama agar alim. Mahbub mengaji di Madrasah Mamba’ul Ulum. Madrasah memiliki belasan ruang kelas berjajar dua, ada di sebelah kanan Masjid Agung, Solo. Pagi bersekolah umum, sore bersekolah agama. Hari-hari dijalani dengan rutinitas, mengurangi kegembiraan untuk bermain. Mahbub sering mengantuk, cemas, tegang jika mengikuti pelajaran-pelajaran saat Madrasah Mamba’ul Ulum. Mahbub merasa tak ada gairah.

Perubahan hidup terjadi saat Mahbub bertemu Kiai Amir. Sore, mereka bercakap tentang buku. Kiai Amir memberi kabar mengejutkan pada Mahbub: “Aku membuka perpustakaan pinjaman, bisa disewa. Cerita anak-anak ada, buku roman juga ada. Pokoknya rupa-rupa. Nah, kamu bisa juga sewa.” Hidup telah berubah. Mahbub kena pikat buku, bergairah dengan cerita-cerita. Hari demi hari, Mahbub bergembira membaca buku. Mahbub mengenang: “Kubaca Si Samin, Si Doel Anak Betawi, Tom Sawyer, sejumlah karangan Karl May…. Kusukai tokoh pemburu, bandit yang mengecoh polisi, gadis yang gantung diri akibat cinta tak kesampaian.” Buku memberi imajinasi dan rangsangan bagi Mahbub untuk mengerti diri dan dunia.

Baca Juga:  Menggugat Asumsi Stabilitas Alam

Masa lalu di Solo dan hari-hari berbuku mengantar Mahbub Djunaidi menjadi jurnalis, sastrawan, tokoh agama. Kita mendapati pelbagai tulisan-tulisan impresif dari Mahbub, efek dari pikat buku saat masih remaja: Dari Hari ke Hari, Angin Musim, Kolom Demi Kolom, Humor Jurnalistik. Mahbub juga menerjemahkan sastra-sastra dunia: 80 Hari Keliling Dunia (Jules Verne), Cakar-Cakar Irving (Art Buchwald), Binatangisme (George Orwell).

Biografi Hamka dan Mahbub Djunaidi mengingatkan kita tentang pikat buku saat mereka remaja dan mengalami hidup dalam situasi tak keruan. Kolonialisme dan revolusi tak membuat mereka pasrah dalam kebodohan. Mereka tetap bersekolah, mengaji, menggandrungi buku-buku. Usia remaja tak cuma berisi kenakalan dan hiburan. Mereka mendapati keajaiban perpustakaan. Hamka berubah oleh ajakan Engku Zainuddin Labai untuk bercumbu dengan buku-buku. Mahbub mengalami sukacita oleh ajakan Kiai Amir, mengartikan diri dan dunia melalui buku-buku. Masa remaja, masa menentukan untuk identitas dan masa depan. Pikat buku sanggup menjadikan Hamka dan Mahbub Djunaidi sebagai “tukang cerita”, mewariskan pelbagai  buku untuk kita. Begitu.