Ulasan Buku

Fiksi Sejarah untuk Kaum Muda

Hingga saat ini masih banyak generasi muda yang menganggap pelajaran sejarah merupakan pelajaran membosankan. Anggapan itu bukan saja dikarenakan oleh metode pelajaran sejarah yang cenderung menghafal daripada memahami, juga dikarenakan kebanyakan buku-buku sejarah ditulis dengan kaku dan membuat pembacanya—terutama generasi muda— gampang mengantuk.

Akibatnya banyak anak muda yang abai pada kejadian di masa silam yang kemudian mudah terjerumus pada Sikap xenophobia, apatis, individualis, hedonis, materialis, dan intoleransi. Bahkan, demikian gampang dipengaruhi oleh orang-orang yang dengan semena-mena memelintir sejarah.

Munculnya klaim kerajaan baru dalam bentuk Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, dan sebagainya merupakan bukti betapa pemahaman sejarah masih minim dikuasai oleh masyarakat kita. Herannya, meski penjelasan sejarah versi Sunda Empire, misalnya, cenderung mudah diketahui kebohongannya, ternyata banyak orang yang percaya. Terutama para pengikutnya.

Kondisi semacam itu jelas mengkhawatirkan. Sebab, Sartono Kartodirdjo, sejarawan yang memelopori penulisan sejarah dengan cara pandang Indonesia dengan pendekatan multidimensional itu, pernah mengungkapkan bahwa, bangsa yang tak mengenal sejarahnya dapat diibaratkan seorang individu yang kehilangan memorinya, ialah orang pikun atau sakit jiwa, di mana ia kehilangan identitas atau kepribadiannya.

Tentu kita tidak ingin generasi muda jadi amnesia sejarah, lupa bahkan tidak tahu dari mana dirinya berasal, terkikis jati dirinya, serta gagal menjadi manusia yang berkarakter dan berbudaya.

Meski demikian, kenyataan tersebut bukanlah sebuah jalan buntu. Selalu ada celah yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan minat generasi muda pada sejarah, yakni dengan penulisan fiksi dengan berlatar sejarah. Tidak sedikit pengarang yang memasukkan sejarah sebagai unsur dimensi waktu, tempat, dan peristiwa dalam keseluruhan cerita.

Yang paling mengemuka dan cukup berhasil adalah Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Pulau Buru-nya. Dengan tokoh Minke, Pramoedya Ananta Toer berhasil memompa semangat nasionalisme kita. Keberhasilan itu salah satunya bisa dilihat dari berkali-kali (semasa hidupnya) pengarang kehiran Blora 6 Februari 1925 itu menjadi kandidat nobel sastra dunia.

Baca Juga:  Yatim dari Orangtua Seolah-Olah

Tentu saja Pramoedya Ananta Toer bukanlah satu-satunya pengarang yang menggunakan latar sejarah sebagai bahan penguat cerita fiksinya. Idrus lewat kumpulan cerpennya Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma juga menggunakan sejarah masa kolonialisme Jepang dalam beberapa cerpennya. Selain Idrus, nama YB. Mangunwijaya, Iksaka Banu, Dwi Cipta, juga menggunakan sejarah sebagai unsur dimensi penguat cerita dalam karyanya.

Edy Firmansyah lewat buku kumpulan cerita pendeknya berjudul Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon seakan mencoba meneruskan tradisi itu. Lewat 14 cerita dalam buku itu, pengarang kelahiran Pamekasan itu memasukkan unsur sejarah masa kolonial Belanda hingga Jepang di Madura.

Setidaknya ada tiga periode yang menjadi fondasi utama kumpulan cerita pendek bersampul putih tulang itu. Pertama, masa pendudukan Belanda, masa pendudukan Jepang, dan masa pascakemerdekaan, terutama upaya Belanda untuk merebut kembali kekuasaannya dengan membonceng NICA.

Dalam cerita pendeknya yang berlatar kolonialisme Belanda di Madura, ia menggarap tentang merebaknya peredaran candu di Madura, tentang pergundikan, tentang perburuan hewan liar, dan wabah kusta. Pada masa pendudukan Jepang, ia menggarap Jugun Ianfu. Sedangkan pada masa pascakemerdekaan, ia menggarap peristiwa pembantaian di depan masjid Jamik Pamekasan pada 1947 yang dilakukan Belanda.

Barangkali seturut pembacaan saya, hanya ada dua cerita yang tidak berada dalam tiga periode yang saya sebutkan di atas. Yakni, Kutukan Film Perang dan Sang Paraji. Meski demikian bukan berarti kedua cerita itu tak memiliki kandungan sejarah. Justru sebaliknya, dua cerita pendek itu juga bagian dari sejarah di Madura.

Pada Kutukan Film Perang, misalnya, cerita itu meski digarap dengan realisme magis, menceritakan kembali mengenai peristiwa konflik tentara dengan masyarakat saat pembangunan Waduk Nipah pada dekade 90-an.

Sebelum dijadikan buku, setidaknya ada lima cerita berlatar sejarah kolonial di Madura itu yang sempat dimuat di media massa baik cetak maupun elektronik, seperti Jawa Pos (“Kutukan Film Perang”), Detik.com (“Vanesse Meertruida dari Zoutlanden” dan “Garam dan Perang”), Koran Tempo (“Perburuan Agustus 1947”), dan becik.id (“Sejarah Sebuah Tembakan”). Selebihnya adalah cerpen-cerpen baru.

Baca Juga:  Suara Pemberontak Sastra

Sayangnya, cerita-cerita dalam buku setebal 132 halaman ini tidak diurutkan secara periodik. Pada cerita pembuka yang berjudul “Cinta itu berbahaya, Tuan Philips” cerita bergulir dalam titimangsa 1863, tahun di mana penanaman tembakau pertama di Pamekasan.

Sedangkan pada cerita kedua dan ketiga berjudul “Vanesse Meertruida dari Zoutlanden” dan “Perburuan Agustus 1947” bertitimangsa 1947. Pada cerita “Airmata Klekeh” yang mengusung tema perburuan hewan liar bertitimangsa 1840-an. Mestinya cerita “Airmata Kleleh” yang dijadikan pembuka cerita. Seandainya cerita-cerita dalam buku ini diurutkan secara periodik tentu lebih menguatkan lagi.

Meski demikian, cerita dalam buku ini cukup berhasil dalam segi fiksi. Digarap dengan lincah dan indah. Bahkan, beberapa cerita diselingi humor. Dan meski bukan pengarang yang pertama yang menggunakan sejarah masa kolonial sebagai pijakan dari cerita-ceritanya, Edy Firmansyah barangkali adalah salah satu dari sedikit pengarang Madura yang menggunakan data sejarah kolonialisme di Madura sebagai bagian dari kekuatan fiksinya.

Lewat buku terbitan Cantrik Pustaka ini seakan-akan kita diajak melihat lagi ke masa lampau, masa di mana penjajah masih bercokol di Madura dengan berbagai konflik dan penderitaan yang terjadi di dalam masyarakat di masa itu.

Buku ini setidaknya menambah daftar panjang buku-buku fiksi sejarah yang lebih dulu beredar. Dan generasi muda seakan-akan mendapatkan tambahan amunisi untuk terus menumbuhkan minat mempelajari sejarah. Lagipula, seperti kata Bung Karno, bapak proklamator kita, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dengan kata lain tak ada lagi alasan untuk mengatakan mempelajari sejarah itu membosankan. Sebaliknya, lewat fiksi sejarah, kita tidak hanya belajar sejarah tapi belajar tentang harga kemanusiaan.

  • Tulisan ini sebelumnya sudah tayang di Radar Madura, 10 Oktober 2021.
Array