Pada mulanya, pesimisme Schopenhauer yang muram adalah subjek yang memikat perhatian saya. Pesimismenya tetap saya anut, akan tetapi ia sekaligus membawa saya menyelami metafisikanya, yang pada akhirnya membuat saya tertarik mendalami metafisika Barat. Sejak saat itu, saya terobsesi dengan pemikiran spekulatif, khususnya teori-teori yang disusun para filsuf-filsuf Pra-Sokrates dan Jerman, yang tidak hanya cerdas tapi juga imajinatif.
Karya ini ditujukan untuk mengenalkan metafisika Schopenhauer secara komprehensif ke pembaca-pembaca filsafat di Indonesia. Diskursus sejarah filsafat Barat di negeri ini lebih banyak “berpusar” pada Marx, Hegel, dan Nietzsche. Mungkin ditambah Plato dan Aristoteles. Schopenhauer tidak diabaikan sepenuhnya, tapi hanya dibahas sambil lalu. Paling-paling hanya dibahas sepintas supaya pemikiran Nietzsche bisa dipahami dengan lebih baik, karena secara kronologis yang terakhir pernah menganggap nama pertama sebagai “guru”.
Padahal dari sisi teoretis, teori yang dibangun Schopenhauer adalah satu dari beberapa ikhtiar terhormat dan gagah berani guna menjawab tantangan masyhur yang diajukan Kant, “bagaimana (cara) metafisika mungkin sebagai sains?”. Metafisika imanen adalah jawaban Schopenhauer. Karya-karya yang ia ciptakan tak lain adalah justifikasi-justifikasi atas metafisika imanen, lawan dari metafisika transenden yang ketidakvalidannya sudah dijabarkan secara gamblang oleh Kant. Posisi tersebut Schopenhauer bela dan pertahankan hingga ajal tiba.
Jasa-jasa terbaik Schopenhauer lainnya, tentu saja, terletak pada konsep the will to live (kehendak untuk hidup) serta uraian mengenai akar penderitaan dan rasa sakit yang tak terhindarkan di dunia ini. Masalah-masalah yang begitu nyata, tapi tak mendapatkan porsi pembahasan yang cukup karena semangat zaman yang begitu optimistis.
Di buku perdana ini, saya berharap bisa menjabarkan dengan baik dan memberikan tafsir yang segar atas sistem metafisika Schopenhauer, yang nasibnya semalang hidup si empu, karena saat Schopenhauer mulai merenta, kekuatan filsafatnya baru mulai mendapat pengakuan. Hal yang membuatnya begitu merana dan terluka. Semoga secara teoretik dan estetik para pembaca bisa terpuaskan. Jika belum, saya mohon maaf.