EPILOG
Prof. James J. Fox
The Australian National University
Buku Iksan Kamil Sahri yang berjudul Kiai, Kitab Kuning, dan Pesantren menawarkan kontribusi intelektual dalam kajian seputar perkembangan pesantren di pulau Jawa. Penelitiannya difokuskan pada tiga pesantren salaf: (1) Pesantren Langitan yang berdiri pada tahun 1865 dan menjadi salah satu pesantren yang cukup berpengaruh di pulau Jawa; (2) Pesantren Bata-Bata yang merupakan pesantren terbesar di Madura dan berlokasi di Pamekasan; dan (3) Kedinding Lor, pesantren berpengaruh lainnya yang berada di pinggiran kota Surabaya dan menjadi pusat bagi Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah.
Hal yang ditekankan dalam penelitian Iksan Sahri ini terletak pada pemahamannya terhadap kategorisasi salaf dan salafiyah dalam konteks pembangunan pesantren kontemporer. Saat ini pesantren salaf bisa saja dipahami sebagai mereka yang mempertahankan penggunaan teks Arab klasik, atau lebih dikenal dengan Kitab Kuning, yang memfokuskan pengajarannya hanya pada dasar-dasar pelajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengan kata lain, pesantren ini mengajarkan hukum Islam hanya didasarkan pendapat satu madzhab (syafi’i), mengajarkan filsafat berdasarkan pendapat al-Ash’ari dan al-Maturidi, dan mengajarkan tasawuf berdasarkan pendapat al-Junadi al-Baghdadi. Corak pesantren ini menekankan pada pentingnya pelestarian tradisi ilmiah yang sudah lama berkembang di pulau Jawa, yang mana aktivitas yang dilakukan di dalamnya tersebut telah menjadi intisari proses pembelajaran Islam di setiap pesantren. Di Jawa dan Madura, pesantren salaf telah menjadi pesantren yang telah mengklaim sedikitnya campur tangan pemerintah dalam aspek kurikulum pembelajaran.
Setelah menelaah dua puluh pesantren salaf, pilihan Iksan Sahri berakhir pada tiga pesantren yang mana sejarah dan kondisi mutakhir telah ia teliti secara detail. Langitan, Bata-Bata dan Kedinding Lor, tentunya memiliki ciri khas masing-masing namun tetap saja signifikan dijadikan sebagai fokus penelitian. Hal ini didasarkan pada keberhasilan mereka dalam menarik minat santri, mempertahankan kurikulum khas pesantren di kala pesantren lainnya mengadakan perubahan, serta tetap maju dan berkembang di saat pemerintah berupaya mengintervensi perkembangan mereka. Negosiasi dengan negara ini tentunya telah mengungkapkan banyak hal tentang pesantren ini seperti melakukan hal yang sama untuk merespon usaha modernisasi pemerintah Indonesia.
Iksan Sahri telah berhasil membuktikan secara rinci ketiga pesantren yang menjadi fokusnya bagaimana pesantren ini berkembang hingga keberhasilannya dalam mencetak generasi penerus. Menurutnya, suksesi yang direncanakan dengan baik, melalui jalur keturunan dan pernikahan telah menjadi inti keberhasilan terciptanya pelestarian pesantren lengkap dengan tradisi ilmiahnya.
Bagi perkembangan kajian Islam di Indonesia, salah satu kontribusi yang cukup penting dalam tulisan Iksan Sahri ini adalah dokumentasinya terhadap beberapa teks klasik tertentu yang digunakan oleh pesantren salaf. Kumpulan naskah klasik ini menyediakan catatan dokumenter yang menempatkan posisi Islam Jawa dan Madura dalam konteks Islam secara global.
Sangat memuaskan tentunya melihat hasil riset yang dilakukan oleh Iksan Sahri ini mengikuti jejak tradisi keilmuan yang telah bermula sebelumnya di Australian National University oleh Zamakhsyari Dhofier dalam tesis yang berjudul The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyai in the Maintenance of the Traditional Ideology of Islam in Java; diajukan untuk memperoleh gelar doktor (PhD) pada tahun 1980, dipublikasikan di Indonesia dengan judul Tradisi Pesantren pada tahun 1982, dan kemudian masih tetap dipublikasikan sebagai buku berbahasa inggris pada tahun 1999.
Semenjak itulah para mahasiswa lulusan ANU hanya memfokuskan tulisannya pada pembahasan seputar pesantren. Beberapa penelitian tersebut misalnya di tulis oleh Abdul Gaffar Muhaimin yang melakukan studi di Pesantren Buntet, Cirebon, Zulkifli yang membahas Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, Dindin Solahudin yang mengkaji Daarut Tauhid di Bandung, bersamaan dengan beberapa kajian tentang relasi antar pesantren di Jombang oleh Endang Turmudi, juga pembahasan oleh Arif Zamhari tentang majlis dzikir yang diasosiasikan dengan pesantren tertentu di Jawa Timur. Penelitian serupa juga termasuk kajian yang dilakukan oleh para alumni PIES (Parnership on Islamic Education Scholarship), seperti Anis Humaidi tentang Pesantren Lirboyo di Kediri, Dwi Setianingsih tentang Pesantren Darul Ulum di Jombang, dan M. Muntahibun Nafis tentang Pesantren Ngalah di Pasuruan.
Apa yang menjadi daya tarik dari mayoritas pesantren di Indonesia ini terletak pada keragaman pendidikan, kekakuan intelektual dan keterlibatan sosial. Tidak dikenal dalam dunia Islam ini istilah setara. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren tentunya sangat melekat dengan kehidupan sosial. Pada pusat mereka terdapat semacam bentuk jaringan kiai yang merupakan para pelaku pembaharuan institusi tersebut. Dengan demikian, perbedaan model pembangunan di dalam maupun antar-pesantren akan tetap menjadi subjek yang akan secara intens dikaji untuk masa depan Indonesia, dan tentunya, untuk masa depan dunia Islam. Ikmal Kamil Sahri perlu diberi apresiasi atas kontribusi berharganya terhadap kajian untuk penelitian berkelanjutan yang sangat penting ini.
Canberra, 2019