Fudoli Zaini adalah penulis cerpen puitik, suatu kecenderungan yang cukup meluas dalam penulisan cerpen di Indonesia. Pada umumnya cerpen-cerpennya itu mengisahkan tentang perjalanan kesadaran batin manusia menghadapi berbagai permasalahan hidup seperti kefanaan, kematian, dan kenisbian waktu yang kerap mengganggu. Harapan, cinta, ketakutan akan maut, ketakberdayaan insan di hadapan kekuatan gaib dari takdir yang pelik, perjuangan melawan hawa nafsu, kerinduan Tuhan—adalah tema-tema pokok cerpen Fudoli.
—Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., Kembali ke Akar Kembali ke Sumber.
Di tengah derasnya cerpen-cerpen Indonesia mutakhir yang muncul dengan mengusung tema kritik sosial, Fudoli justru mengangkat kisah-kisah sufi. Pengetahuannya yang luas tentang filsafat, tasawuf, dan sufisme sangat membantu menyelipkan metafora dan simbol sufistik. Pesan itu jadi terasa begitu halus lantaran Fudoli menyampaikannya melalui cara bertutur yang lancar mengalir seperti sedang mengikuti arus air anak sungai. Sebuah teknik bercerita yang sangat bersahaja, namun justru sangat mendukung tema yang hendak dihadirkannya.
Jika hendak menempatkan kedudukan Fudoli dalam konstelasi cerpen Indonesia, maka sulit untuk menafikan sumbangannya dalam memperkaya tema cerpen Indonesia modern. Fudoli seperti sengaja melengkapi tema sejenis yang disampaikan Danarto, Kuntowijoyo, Djamil Suherman atau Mohammad Diponegoro. Dengan demikian, tentu saja menjadi tidak beralasan jika untuk meniadakan namanya dalam peta kesusastraan Indonesia. Fudoli telah sangat meyakinkan membuat tonggaknya sendiri yang tidak dapat dengan mudah digantikan dengan nama cerpenis lain. Sangat disayangkan jika para pengamat sastra Indonesia mengabaikan karya-karya sufistik Fudoli.
—Maman S. Mahayana, Horison.
Fudoli adalah satu dari sedikit pengarang yang mengetengahkan kehidupan orang-orang dengan latar belakang budaya santri di dalam cerpen-cerpennya. Ia tentu tidak mengalihkan dengan verbal begitu saja latar belakang kehidupan keagamaan santri itu tetapi dengan intens mengolah problematikanya, terutama dari segi kemanusiaannya. Dengan ini pula ia menjadi penangkis tuduhan banyak pengamat bahwa pengarang Indonesia jarang menghadirkan orang-orang kecil dalam karya-karya mereka. Fudoli, dalam banyak hal, bisa disebut sebagai inspirator dari maraknya kehadiran para penulis santri belakangan ini.
—Hairus Salim HS, NU Online.
Fudoli terhitung seorang di antara lima sastrawan Indonesia yang paling produktif, istimewa di bidang cerita pendek.
—Satyagraha Hoerip, Cerita Pendek Indonesia Mutakhir.
Cerita-cerita M. Fudoli Zaini memiliki kekhasan dalam hal sosio-religiositas dengan menekankan pada konsep ‘terlibat-dalam’ yang mengunggah hal-hal yang bersifat transendental dan cenderung memunculkan kesadaran sufistik. Bisa jadi konsepsi ini yang sering disebut sebagai sastra sufi atau sufistik, bahkan mengarah pada sastra profetik yang pernah digagas Kuntowijoyo. Ceritanya memang kadang absurd dan surealis, sebagaimana yang sering ditulis oleh Kuntowijoyo dan Danarto saat menggambarkan dunia batin dan realitas keilahian, tetapi Fudoli memiliki kekhasan, yaitu latar belakang pesantren dan ceritanya seputar dunia pesantren dan nilai-nilainya.
—Mashuri, Jurnal Atavisme.