Sepanjang 150 tahun produksi garam di Madura, khususnya Sumenep, selama itu pula para petaninya berjuang melawan “perbudakan”—istilah yang secara tepat dipakai penulis buku ini untuk melukiskan kondisi memilukan—yang dialami mereka selama menjadi buruh garam dari generasi ke generasi. Sempat menjadi produsen utama kebutuhan garam dunia pada awal abad ke-20, kini komoditas garam Madura berada di kaki langit senja.
Industrialisasi garam warisan pemerintah Hindia Belanda yang terus dilestarikan oleh pemerintah Indonesia dari Orde Lama hingga Reformasi melalui kebijakan kontrol produksi, pachtstelsel, zoutregie, dan monopoli itu telah melahirkan perlawanan panjang dari petani mereka sendiri dalam rupa-rupa cara: dengan kata dan tindakan; secara terbuka maupun diam-diam; individual dan kolektif; lokal dan regional; insidental dan struktural; dengan damai dan dengan kekerasan.
Meskipun pada kenyataannya tidak berhasil, perlawanan tersebut berdampak besar pada terjadinya deindustrialisasi yang bukan hanya memerosotkan produksi garam, melainkan juga menciptakan formasi sosial masyarakat pegaraman yang marginal, miskin, dan rentan karena ketegangan terus-menerus terhadap pemerintah yang tidak pernah memberikan keberpihakannya.
Buku ini juga menjelaskan bahwa kepentingan petani garam di Madura dipermainkan berabad-abad lamanya; bukan kepentingan petani yang mendapat tempat sentral dalam perumusan kebijakan dari waktu ke waktu, melainkan kepentingan birokrat, politisi, dan investor.
~Huub de Jonge