Kolom, Ulasan Buku

Tahun, Terminasi, dan Puisi

Sampai saat ini, belum dapat dipastikan, sejak kapan manusia memiliki kecenderungan merenungi pergantian tahun, perubahan waktu, dengan kata-kata indah atau puitis? Seakan tidak sembarang kata-kata berhak mencatat apa yang terlewat atau mendekap harapan yang akan datang.

Dalam sejarah peradaban, perjumpaan kita dengan penanda waktu merupakan sekutu yang menawan dalam menghasilkan ucapan, harapan, dan renungan. “Selamat pagi”, “Selamat ulang tahun”, dan “Selamat tahun baru”.  Setiap kali kita mengucapkannya, seolah yang terdengar bukan hanya sebentuk tanda dalam siklus perputaran bumi, tetapi sebuah rasa dalam ritus peredaran diri.

Setiap diri manusia memang beredar di antara datang dan pergi. Dalam buku kumpulan puisi terbarunya, penyair Suminto A. Sayuti menulis gejala tersebut dengan menolak terminasi atau menolak akhir dari sesuatu di dalam ruang dan waktu, Ketika Diri adalah Kepulangan dan Keberangkatan  (Cantrik Pustaka, 2023). Perhatikan penggunaan “adalah” serta “dan”. Mengapa pula harus “kepulangan dan keberangkatan”, bukan “kepulangan dan kepergian”?

Berisi 100 puisi, kumpulan ini dibuka dengan puisi persembahan yang “teramat waktu” sebelum daftar isi. Puisi “Siapa Berkata  menggemakan sekali lagi antiterminasi (terutama dalam /Sekali hari ini lalu esok yang lusa/), juga siklus, dan semesta waktu.

Siapa Berkata

–kepada diri

Siapa bilang dengan kata-kata. Sekali

hari ini lalu esok yang lusa. Adalah

cintamu yang kenanga. Peraduan adalah

senyummu yang bumi. Aku pun rebah

seiring reda gelisah. Ranjang pun kasur

yang umur. Aku pun telentang memeluk

waktu yang pematang. Cahaya pun

terang. Redup pun cuma milik senja yang

petang. Siapa berkata. Puisimu adalah

sabda semesta

Pada lembar berikutnya, puisi “Notasi, 1” dan “Notasi, 2”, mengajak pembaca menekuri makna hidup, dari kepulangan dan keberangkatan tadi, melalui notasi gamelan. Yang tapil beda dari puisi-puisi Suminto A. Sayuti sebelumnya, misalnya dibandingkan dengan kumpulan Malam Taman Sari, kecenderungan untuk memberi arti pada “kelampauan (yang) ditempuh” beberapa kali membuat makna menjadi terdesak; berderap di antara disonansi, deskripsi, dan lompatan imaji.

Baca Juga:  Mengabdi dan Mengabadi di Priangan

Puisi, terutama liris, ada kalanya seperti hujan akhir tahun yang mampu melarutkan debu-debu makna menjadikannya rintik dan rasa dalam detik dan gema peristiwa yang perlahan.

Akan tetapi, puisi, bersama riuhnya medan algoritma media sosial dan evolusi otot mata dan jempol umat manusia, dapat menjelma fragmen-fragmen visual yang bergulir, bergerser, dan terburu-buru.

Terburu-buru merupakan rumus turunan waktu. Puisi di sini berperan “memanggilnya”.

Mengingat sifat dan fungisnya tersebut, bukan kebetulan jika dalam kumpulan Ketika Diri adalah Kepulangan dan Keberangkatan  akan ditemukan “Nina Bobo Waktu”, “Epsiode Waktu”, “Kain Waktu”, “Sam-Gama Waktu”, “Batu Waktu”, “Tugu Waktu”, “Cakra Waktu”, “Bunga Waktu”, “Lembah Waktu”, “Sampan Waktu”, “Tasbih Waktu”, “Beranda Waktu”, “Lumbung Waktu”, “Lubang Waktu”, “Laut Waktu”, “Selat Waktu”, “Memeluk Waktu”, “Lengkung Waktu”,  “Jarum Waktu”.

Termasuk yang berkaitan dengan waktu, “Jumanji: Selamat Datang di Belantara”, “Jumanji: Selamat Tinggal Belantara”,  “Ketukan di Pintu Dini,” “Ketukan di Pintu Pagi”, “Ketukan di Pintu Siang”, “Sebelum Pentas”, “Seusai Pentas”, “Malam Malang”, “Malam Ngawi”, “Malam Sungai Cerekang”, “Hujan Akhir Tahun”, “Hari-hari Kita”, dan “Puisi Sehari-hari”.

Ketika Suminto A. Sayuti menghadirkan waktu sebagai subjek di dalam puisinya, waktu lebih banyak pasif. Waktu tidak ditampilkan membawa konsep humanoid, kecuali “bayi waktu” yang dinina-bobo dan waktu yang disam-gama, melainkan dalam konsep fisika. Waktu dipadankan dengan benda mati, yang terikat kenangan, serta pada situasi geospasial yang menandai jarak dan kepergian seperti selat dan laut.

Dalam teori fisika, kita mengenal rumus waktu yang terbuat dari jarak dibagi dengan kecepatan.

Puisi tidak berperan sepagai koefisien pengganda variabel dalam ekspresi rumus tersebut, melainkan sebagai kurung buka “(” dan kurung tutup “)” yang memerangkap apa yang telah terbagi dari jarak antara penyair dan objeknya oleh kecepatan rasa dan pikiran akibat takut melupakan momen puitik tertentu.

Baca Juga:  Menyoal (Kembali) Media Sosial

Itulah sebabnya dalam kumpulan puisi ini, juga dalam puisi-puisi penyair lain, akan mudah kita temui puisi penanda perjumpaan, kepergian, dan perjalanan.

Kita akan menemui puisi “Malam Malang” yang ditandai dan dipesembahkan untuk perjumpaan dengan Djoko Saryono, “Malam Ngawi” untuk Tjahjono Widarmanto, “Hanya Gambar yang Bisa Bicara” untuk D. Zawawi Imron, atau “Sura-Madu” untuk Mawaidi D. Mas.

Meskipun didominasi tema waktu, puisi-puisi dalam kumpulan ini tidak menggunakan penanda waktu penciptaan seolah menegaskan lagi keinginan antiterminasi, keinginan untuk dilepaskan dari waktu itu sendiri. Mengapa?

Barangkali agar puisi tidak mati dalam tanda dan tenda rotasi bumi, seperti cinta sejati. Barangkali seperti /Hujan di penghujung hari./ Cintamu tak pernah mati./  (dari puisi “Hujan Akhir Tahun”, Suminto A. Sayuti, hal. 100). Selamat tahun baru, selamat mengenang dan berharap dalam puisi.*

  • Tulisan ini sebelumnya sudah tayang di Jawa Pos, 6 Januari 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *