Buku ini dimulai dengan definisi semiotika yang mencengangkan dari Umberto Eco. Secara tandas ia mewedarkan bahwa semiotika pada prinsipnya adalah “sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie).” Definisi Eco ini secara eksplisit menegaskan betapa sentral konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri. Eco lalu melanjutkan: “Bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkap dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkap kebenaran (truth)—ia pada kenyataannya, bahkan tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan apa-apa”.
Bertolak dari definisi tersebut, Yasraf Amir Piliang mengembangkan secara kreatif apa yang ia sebut sebagai hipersemiotika. Hipersemiotika, dengan demikian, adalah teori tentang dusta—tetapi juga dimaksudkan sebagai ikhtiar pelampauan atas selubung dusta demi merengkuh secara penuh (atau mungkin tak sepenuhnya utuh) tentang kebenaran yang terserak di dalam relasi-relasi sublim tanda, gaya, kode, makna, iklan, seni, agama, dan hal-hal yang menyehari di sekitar kita.
Buku ini, sebagai suatu buku utuh, berhasil memperlihatkan secara menyeluruh dan rinci tentang [bahasan]nya. Pemaparan deskriptif informatif, bahkan nyaris leksikografis, yang menuntut ketekunan cermat ini, sangatlah berharga sebagai suatu tahapan dasar untuk melakukan refleksi lebih mendalam dan substansial selanjutnya atas kiprah peradaban mutakhir dunia kita ini.
Bambang Sugiharto