Demokrasi, entah sebagai sistem politik atau sebagai sistem pemikiran, itu penuh dengan paradoks. Bagaimana menjelaskan satu klaim besar ini? Ada banyak aspek dalam demokrasi yang sebenarnya dapat menjadi bukti paradoksikalitasnya. Tapi melalui tulisan ini saya hanya akan menjelaskan satu aspeknya saja, yaitu prinsip inklusivitas demokrasi.
Inklusi adalah salah satu, jika bukan satu-satunya, nilai pokok demokrasi. Spirit demokrasi adalah menginklusi demos—dalam arti seluruhnya, apa pun “perbedaan” mereka—ke dalam satu tatanan masyarakat demokratis. Demokrasi, melalui prinsip inklusi, merupakan satu operasi numerik terhadap liyan: semakin banyak subjek politik yang diinklusi, maka semakin demokratis suatu tatanan masyarakat.
Negara demokratis, karenanya, mengidealkan suatu wajah masyarakat yang heterogen. Melalui ideal heterogenitas masyarakat itulah, narasi demokrasi melahirkan beberapa wacana inklusif, mulai dari pluralisme, multikulturalisme, hingga basa-basi toleransi. Semua itu tentu baik bagi kohesi sosial atau bagi realisasi jargon-jargon moral seperti “persatuan dalam keberagaman” (unity in diversity)—atau dalam versi Nusantara: Bhinneka Tunggal Ika.
Tapi justru di jantung inklusi demokrasi liberal itulah terdapat kekuatan eksklusi yang laten. Agen-agen demokrasi bisa menginklusi subjek politik sebanyak mungkin—tetapi atas nama inklusi yang dipahami secara numerik, agen-agen yang sama juga bisa melakukan eksklusi terhadap subjek yang dianggap mengganggu tatanan inklusivitas demokrasi. Kekuatan eksklusif demokrasi itu menemukan presedennya, semisal, di Indonesia, sebuah negara demokratis dengan masyarakat yang sangat heterogen, melalui penerbitan Perpuu Ormas.
Perpuu Ormas itu memberikan kekuatan hukum bagi praktik eksklusi oleh negara. Dengan kata lain, demi melakukan inklusi numerik terhadap sebanyak mungkin subjek politik, negara sah mengeksklusi sedikit orang yang dianggap memiliki ideal politik di luar basis demokrasi. Alasannya sederhana: mereka mengganggu situasi normal tatanan masyarakat demokratis. Maka satu hal yang bisa ditangkap dari simtom Perpuu Ormas itu: demokrasi sebenarnya menghendaki status quo!
Demikianlah, demokrasi hanya akan menginklusi perbedaan, sejauh perbedaan itu tidak berbahaya bagi tatanan demokrasi yang (diandaikan) telah mapan. Itulah sebabnya John Rawls, teoretikus demokrasi liberal, menulis: “That there are doctrines that reject one or more democratic freedoms is itself a permanent fact of life, or seems so. This gives us the practical task of containing them—like war and disease—so that they do not overturn political justice.”[1]
Meskipun Rawls mengakui bahwa ideal-ideal politik di luar demokrasi itu ada dan merupakan fakta kehidupan yang tak terelakkan, tetapi agar mereka tidak mengganggu tatatan, Rawls malah menyarankan kita untuk membatasi gerak mereka (containing them)—atau dalam bahasa agenda politik Jokowi: menggebuk Ormas yang bertentangan dengan Pancasila.
Eksklusi, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang eksternal dari demokrasi. Ia inheren dalam demokrasi. Maka pertanyaan yang senantiasa menghantui demokrasi adalah: jika demokrasi mengidealkan suatu tatanan masyarakat yang inklusif, mengapa ia dalam dirinya justru mengandung kekuatan laten eksklusif? Apa yang salah dari demokrasi, khususnya demokrasi liberal?
Pertanyaan itulah yang dijawab oleh Jacques Ranciere. Ia berangkat dari satu pembedaan yang tegas: politics dan police. Yang pertama memungkinkan demokrasi rill atau politik demokratik; sementara yang kedua adalah nama yang dipakai Ranciere untuk merujuk pada pemahaman umum tentang politik. Organisasi kuasa, distribusi jabatan dan peran, serta legitimasi terhadap distribusi itu, bagi Ranciere bukanlah politics, melainkan police.[2]
Penggunaan istilah police oleh Ranciere ini mirip seperti Foucault menggunakan istilah governmentality. Ia juga mengandaikan sebuah penertiban sosial (social ordering) yang tidak hanya dipaksa oleh intervensi gaya militer, tetapi lebih-lebih oleh ide tatanan sosial yang baik. Hanya saja police lebih luas cakupannya dibanding governmentality.[3]
Dalam sejarah filsafat politik Barat, police menemukan gambaran figuratifnya dalam tiga pemikiran politik: arkipolitik (archipolitics), parapolitik (parapolitics), dan metapolitik (metapolitics). Ketiga figur police itu masing-masing bisa ditemukan dalam ideal politik Platon, Aristoteles, dan Karl Marx serta neoliberalisme Eropa tahun 1990-an.[4] Jika simplifikasi diperbolehkan, maka ketiga figur police itu bisa diartikan sebagai pemikiran politik yang mengidealkan satu tatanan politik tertentu, sehingga seluruh proses politik harus sesuai dengan dan/atau diarahkan menuju tatanan ideal tersebut.
Semisal, arkipolitiknya Platon. Ia mengidealkan tatanan politik yang mendistribusikan posisi dan peran politik sesuai dengan pembelahan tiga sifat manusia: filsuf-raja, militer, dan pedagang atau produsen. Ideal politik itulah, sebagai sebuah police, yang mengatur seluruh proses politik untuk mencapai tatanan ideal dan normal.
Demokrasi liberal, yang menghasrati situasi normal, sebenarnya juga bagian dari police. Inklusi yang ia lakukan adalah proses dari dalam ke luar. Pertama-tama ia membentuk satu tatanan dengan ideal politik tertentu, lalu menginklusi orang di luar tatanan itu ke dalam tatanan dengan syarat mereka bisa mengakui nilai-nilai yang telah sejak awal diidealkan. Dalam model inklusi itu sudah terdapat ketidaksetaraan antara orang-dalam-tatanan yang menginklusi dengan orang-luar-tatanan yang diinklusi.
Dalam model inklusi semacam itu, terdapat—meminjam istilah Todd May—“kesetaraan pasif”.[5] Artinya, meskipun orang-orang yang diinklusi ke dalam tatanan demokrasi memiliki kesetaraan yang sama dengan subjek politik yang lain, tetapi kesetaraan yang mereka miliki bukan hasil dari proses yang oleh Ranciere disebut subjektifikasi[6], melainkan sesuatu yang diberikan dan dijaga oleh institusi. Jika mereka bertindak di luar ideal politik demokrasi, maka hak setara mereka akan segera dicabut oleh institusi.
Pada titik itulah kita bisa melihat perbedaan police dengan politics yang, karena memberi ruang bagi subjektifikasi, memungkinkan lahirnya politik demokratik. Police, dengan idealisasi terhadap satu bentuk tatanan tertentu, bersifat teleologis. Dalam konteks demokrasi liberal, misalnya, nilai kesetaraan itu bukan suatu keterberian murni yang melekat dalam diri setiap subjek politik, melainkan suatu nilai yang diidealkan yang hendak dicapai melalui tatanan masyarakat demokratis.
Demokrasi adalah cara, sedangkan kesetaraan sebagai nilai idealnya. Konsekuensinya: bila ada subjek politik bertindak di luar ideal politik demokrasi, maka hilang nilai kesetaraannya. Ia dieksklusi dari tatanan yang memberinya nilai setara.
Politics, yang berbeda sepenuhnya dengan police, adalah sesuatu yang jarang terjadi. Politics, tulis Ranciere, “hanya terjadi ketika mekanisme [police] dihentikan dalam lintasannya oleh pengaruh satu praandaian yang sepenuhnya asing bagi mekanisme [police] itu, tetapi tanpa praandaian tersebut mekanisme [police] tidak akan bisa berfungsi: [yaitu] praandaian kesetaraan dari setiap orang bersama setiap orang,”[7]
Dengan demikian, bagi Ranciere, inti politics adalah praandaian kesetaraan (the presupposition of the equality). Dengan praandaian kesetaraan itulah, politik demokratik bisa mungkin. Sebagai sebuah praandaian, kesetaraan bukan sebagai tujuan—yang berada di akhir—proses politik, melainkan sebagai prasyarat awal dari seluruh proses politik. Dengan meletakkan kesetaraan sebagai sebuah praandaian, maka politics akan selalu identik dengan disensus, bukan konsensus.
Di situlah letak kesalahan demokrasi liberal. Ia meletakkan nilai kesetaraan bukan sebagai praandaian awal, melainkan sebagai tujuan atau nilai yang diidealkan. Oleh karena wataknya yang teleologis itulah, inklusivitas demokrasi liberal tak lebih dari sekadar ilusi, karena pada saat yang sama ia juga memuat kekuatan laten eksklusi. Sejarah demokrasi, karenanya, bukan hanya sejarah inklusi, melainkan juga sejarah eksklusi.
[1] John Rawls, Political Liberalism, New York: Columbia University Press, 2005, hlm. 64.
[2] Jacques Ranciere, Disagreement: Politics and Philosophy, terj. Julie Rose, Minneapolis: University of Minnesota Press, 1999, hlm. 28.
[3] Todd May, The Political Thought of Jacques Ranciere: Creating Equality, Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd, 2008, hlm. 41-42.
[4] Terkait keterbatasan ruang, saya tidak memberikan uraian lebih detail tentang ketiga figur police tersebut. Penjelasan lebih lanjut baca Jacques Ranciere, Disagreement: Politics and Philosophy…, hlm. 61-94.
[5] Jacques Ranciere, Disagreement: Politics…, hlm. 3.
[6] Subjektifikasi dalam pengertian Ranciere berbeda dengan pengertian Foucault yang memiliki konotasi negatif. Subjektifikasi, bagi Foucault, adalah proses penjinakan subjek oleh institusi. Ranciere menggunakan istilah ini dalam pengertian yang lebih dekat ke Badiou: “By subjectification I mean the production through a series of actions of a body and a capacity for enunciation not previously identifiablewithin a given field of experience, whose identification is thus part ofthe reconfiguration of the field of experience.” Lih. Jacques Ranciere, Disagreement: Politics…, hlm. 35.
[7] Kata dalam kurung adalah tambahan dari penulis. Lih. Jacques Ranciere, Disagreement: Politics…, hlm. 17.

Editor buku-buku nonfiksi Cantrik Pustaka. Mahasiswa lulusan terbaik Filsafat Universitas Gadjah Mada 2019.