Menjadi seorang penulis jelas bukan pilihan yang tepat jika Anda ingin hidup nyaman dan tenang. Sebagaimana tulisan yang—seperti diungkap Derrida melalui kritiknya terhadap Platon—punya karakter ganda, racun sekaligus obat (pharmakon), penulis juga hidup dalam dua dunia: dalam dunia nyata dan dalam tulisannya.
Dalam dunia nyata, seorang penulis dapat hidup sebagaimana manusia-manusia lainnya—walaupun mungkin ia sedikit lebih melarat hidupnya daripada, misalnya, seorang pengusaha. Karena tidak sekadar mencipta barang-barang siap pakai, seorang penulis juga hidup dalam setiap tulisan yang ia hasilkan.
Penulis menjadi roh tulisan-tulisannya yang tersebar, yang dibaca banyak orang. Walaupun pengandaian ini kemudian dikritik habis oleh Derrida sebagai sejenis “metafisika kehadiran”, tapi satu hal yang, saya kira, tak terelakkan dari setiap tulisan: bahwa ia hidup dengan satu pokok gagasan.
Gagasan itu hadir, dibaca dan dimaknai, sebagai tanda dari apa yang pernah dipikirkan oleh sang empunya tulisan. Pada titik ini, kita segera tahu bahwa klaim Derrida tulisan sebagai bentuk negasi terhadap “metafisika kehadiran” sangat kental dengan idealisme Hegelian. Artinya, dalam pandangan Derrida, tulisan sebagai sistem gagasan dapat eksis secara otonom dari pengarangnya, sebagaimana diandaikan Hegel bahwa predikat otonom dari subjeknya.
Karl Marx membalik pengandaian idealis Hegel. Bagi Marx, predikat tidak dapat eksis tanpa ada subjek yang menopangnya. Paralel dengan kritik Marx terhadap Hegel itu, kita juga dapat merespons Derrida dengan menyatakan bahwa: tulisan sebagai sistem gagasan tidak mungkin eksis tanpa ada penulisnya. Oleh karenanya, penulis (subjek) yang punya gagasan (predikat) tak bisa dihilangkan sepenuhnya dari tulisan. Tulisan (predikat) akan selalu bertopang pada penulisnya (subjek).
Di situlah penulis yang (masih) hidup di dunia nyata dapat menemui momen ganjil ketika membaca tulisan-tulisan yang pernah dihasilkannya. Ini saya alami sendiri ketika beberapa bulan yang lalu direktur sebuah penerbit besar di Yogyakarta menghubungi saya. Ia meminta sayauntuk mencoba memilih-milih esai yang pernah saya tulis.
Saya menyanggupi permintaannya. Dalam proses pemilihan itu, mau tidak mau saya harus membaca kembali tulisan-tulisan yang telah ditulis 3 bulan hingga bahkan 2 tahun yang lalu. Pada saat pembacaan kembali itulah momen ganjil yang saya maksudkan muncul. Saya seperti melihat diri-saya-yang-lain.
Momen itu seperti menunjukkan adanya keterbelahan identitas (split of identity) antara saya yang kini ada di dunia nyata dengan saya yang ada dalam tulisan yang pernah saya tulis itu. Artinya, saya saat ini, yang terus berubah dan berkembang, sudah berbeda sama sekali dengan saya yang ada dalam tulisan, yang menopang keberadaan sebuah tulisan. Bagi saya ini menyeramkan. Serupa horor yang bergentayangan.
Dalam narasi tentang horor, makhluk-makhluk menakutkan nan seram itu biasanya digambarkan sebagai sesuatu yang-lain, yang benar-benar lain, dan yang-asing. Bisa berupa hantu, pocong, kuntilanak, sundel bolong, vampir, atau makhluk-makhluk lain apa pun namanya. Mereka biasanya dinarasikan sebagai yang-aneh, buruk rupa, dan asing bagi manusia-manusia biasa. Karenanya mereka dijauhi dan bahkan ditakuti.
Saya seolah melihat hantu-hantu saya sendiri ketika membaca kembali tulisan-tulisan lama. Di situ ada sesuatu yang asing bagi saya: saya-yang-sudah-bukan-diri-saya. Ia menjadi yang-lain, yang sungguh-sungguh lain. Ia hantu, karena ia asing. Hantu yang saya ciptakan sendiri, dan menakut-nakuti saya sendiri. Karena itulah hidup seorang penulis tak akan pernah tenang.
Tapi justru itulah keunikan seorang penulis. Keganjilan-keganjilan yang tampak itu sejatinya menggambarkan sebuah pergulatan gagasan. Itu juga gambaran bahwa pikiran seorang penulis dapat berubah, berkembang, entah mengalami kemajuan atau kemunduran. Apa yang dulu pernah ditulisnya, menjadi gagasannya, kini dapat berubah menjadi sesuatu yang justru disangkalnya. Itu tanda penulis tidak stagnan.
Dalam sejarah perkembangan ilmu, Thomas Kuhn akan menyebut hal itu sebagai perubahan paradigma. Paradigma lama yang menjadi basis pengembangan ilmu dalam sebuah komunitas ilmiah akan menjadi asing dan lain bagi para ilmuwan yang sudah berpegangan pada paradigma baru yang lebih menjanjikan keandalan. Paradigma lama itu dapat menjadi hantu menakutkan bagi ilmuwan yang sudah bekerja di bawah pedoman paradigma baru.
Tulisan akan menghadirkan horor bagi penulisnya, jika dan hanya jika penulisnya mengalami apa yang oleh Thomas Kuhn disebut “gestalt switch”: sebuah perubahan pandangan yang total. Pandangan-pandangan lamanya yang abadi dalam tulisan-tulisannya akan terus menghantui sang penulis setiap saat ia kembali membacanya.
Barangkali hal itu juga dialami oleh para pemikir atau filsuf-filsuf besar. Semisal, Ludwig Wittgenstein ketika membaca kembali Tractatus-Logico-Philosophicus setelah menulis Philosophical Investigation. Atau Martin Heidegger ketika membaca kembali Being and Time di tahun-tahun setelah 1930-an. Saat itu mereka pasti merasakan betapa tulisan yang pernah mereka tulis menjadi sangat menyeramkan![]

Editor buku-buku nonfiksi Cantrik Pustaka. Mahasiswa lulusan terbaik Filsafat Universitas Gadjah Mada 2019.