Banyak gerakan literasi bermunculan—tapi apa yang sebenarnya mereka perjuangkan? Pertanyaan ini muncul dengan satu asumsi sederhana: bahwa kita saat ini tidak lagi hidup di dunia dengan budaya—yang oleh Walter J. Ong disebut—‘oralitas primer’[1]. Dunia yang kita hidupi saat ini sudah lama mengenal tulisan (literate world). Titik problematiknya: mengapa kita masih perlu memikirkan kemungkinan (lain) literasi untuk dunia kita saat ini? Bukankah itu kerja yang sia-sia?
Bukankah kini kita juga sama-sama tahu bahwa kita tidak dilahirkan di dunia berbudaya oral, dunia yang sama sekali tidak mengenal tulisan, melainkan di dunia yang, bahkan sejak kita kecil, sudah mengenalkan huruf-huruf (letters) untuk disusun menjadi kata, menjadi kalimat, menjadi tulisan panjang, atau mungkin hanya sekadar menjadi kalimat sederhana “aku cinta kamu”? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dapat memberikan landasan aksiologis bagi eksistensi gerakan literasi.
Namun, untuk menjawab pertanyaan aksiologis, kita mesti menjangkarkan pokok problematiknya pada satu andaian ontologis. Artinya, kita tidak bisa mengklaim sebuah gerakan literasi itu penting atau tidak, karena kita sudah selalu berada dalam dunia yang melek tulisan. Kita baru bisa mengklaim gerakan literasi itu penting, misalnya, saat kita bisa memastikan bahwa dunia yang sama sekali tidak mengenal tulisan akan jadi dunia yang kaotik. Tapi bagaimana cara memastikannya?
- Baca Juga: Dua Lelaki Terpikat Buku
Sebuah eksperimen pikiran (thought experiment) yang pernah dikenalkan Hilary Putnam bisa membantu kita.[2] Bayangkan ada semesta lain yang paralel dengan semesta kita ini. Di dalamnya juga terdapat planet bumi yang secara umum identik dengan bumi yang sedang kita tinggali. Sebut saja, misalnya, planet itu sebagai ‘Bumi Kembar’. Oleh karena sifatnya yang identik dengan bumi yang kita tinggali, maka di Bumi Kembar itu juga ada diri-saya-yang-lain yang persis sama dengan saya yang menulis esai ini. Demikian juga Anda dan seluruh manusia lainnya, dan hewan-hewan, dan pohon-pohon, dan benda-benda, juga memiliki kembarannya di sana.
Satu hal yang membedakan Bumi Kembar dengan planet bumi yang kita pijak ini: di Bumi Kembar tidak ada tulisan sehingga, karenanya, kembaran saya dan juga kembaran Anda tidak punya pengetahuan sama sekali tentang tulisan. Kira-kira seperti apa kehidupan para kembaran kita di Bumi Kembar itu? Mungkinkah mereka membangun satu peradaban seperti yang kita punya di sini? Atau justru, oleh karena adanya oralitas primer dalam kebudayaan mereka, peradabannya jadi sangat susah untuk berkembang? Teka-teki tersebut mesti kita pecahkan dengan pencarian hakikat bahasa!
Oralitas Bahasa
Tanpa perlu ada orang macam Ferdinand de Saussure sekalipun, saya pikir, kita juga akan tetap mengerti bahwa yang paling fundamental dari bahasa adalah suara[3]. Klaim tersebut dapat dibuktikan dengan momen saat kita berhadapan dengan (bahasa) tulisan. Ada beberapa orang yang, saat membaca, tidak bisa mencerna bacaannya tanpa menyuarakan apa yang mereka baca. Itu biasanya dialami oleh orang-orang yang belum cukup atau baru melek tulisan.
Orang yang sudah sangat melek tulisan (literate people) sekalipun nyaris tidak bisa membaca (bahasa) tulisan tanpa menyuarakannya sama sekali. Setidaknya ia harus menyuarakannya secara lirih, atau menyuarakannya secara batin, atau paling minimal membayangkan suara kata-kata yang ia baca dalam pikirannya. Kita tidak bisa, misalnya, membaca sebuah tulisan hanya dengan membayangkan huruf-huruf yang berkelebatan dalam pikiran. Mesti ada semacam ‘suara’ yang dimunculkan (setidaknya) dalam pikiran dari setiap kata yang kita baca.
Bahasa tulisan, karenanya, untuk bisa dipahami oleh manusia mesti mengalami transmutasi ke dalam bahasa lisan (spoken language) terlebih dahulu. Pada titik itulah sebenarnya kita bisa segera mengerti bahwa bahasa tulisan bukanlah aspek fundamental dari bahasa karena ia masih perlu menyandarkan dirinya pada bahasa lisan. Ia hanya sistem sekunder dari bahasa, sedangkan sistem primernya adalah bahasa lisan. Oleh karena itu, ekspresi lisan dapat eksis meskipun tanpa tulisan sama sekali, tetapi tulisan tidak akan pernah ada tanpa pengandaian bahasa lisan[4].
Hal itulah yang memberikan lanskap kemungkinan bagi catatan antropolog Munro S. Edmunson: bahwa sepanjang sejarah manusia ada puluhan ribu bahasa lisan, tetapi hanya sekitar 106 bahasa yang memiliki sistem tulisan yang cukup memadai untuk menghasilkan khazanah kesusastraan, sementara sisanya sama sekali tak pernah dituliskan; dan dari 3000 bahasa lisan yang masih eksis saat ini, hanya 78 bahasa yang memiliki khazanah kesusastraan.[5]
- Baca Juga: Žižek dan Tulisan yang Menyelamatkan
Berdasarkan catatan Edmunson itu sebenarnya kita tak perlu melakukan eksperimen pikiran untuk mengetahui bagaimana kondisi kehidupan manusia dalam budaya oralitas primer. Setidaknya catatan Edmunson sudah memberi petunjuk bahwa ada komunitas sosial di bumi ini, bukan di Bumi Kembar, yang benar-benar tidak mengenal tulisan (untouched by writing). Namun melalui eksperimen pikiran, kita bisa menemukan kepastian logis bahwa dunia yang tanpa tulisan akan tetap baik-baik saja, karena sifat oralitas bahasa yang menjadi sarana komunikasi manusia lebih primordial dan sekaligus lebih fundamental daripada literalitasnya.
Dunia dengan oralitas primer juga tidak bisa kita tuduh akan susah mengembangkan peradaban. Sebab dari tradisi oral justru muncul sastra lisan, retorika, dan dialektika. Dengan hasil eksperimen pikiran serta temuan fakta historis tersebut, masihkah gerakan literasi dan juga upaya memikirkan kemungkinan literasi saat ini itu penting? Jawabannya: iya, penting, tetapi dengan alasan instrumentalis!
Lanjut ke halaman berikutnya >>
Editor buku-buku nonfiksi Cantrik Pustaka. Mahasiswa lulusan terbaik Filsafat Universitas Gadjah Mada 2019.