Mencari Kemungkinan Literasi: Membongkar & Melampaui Dekonstruksionisme
Mengapa gerakan literasi itu penting karena alasan instrumentalis? Karena tulisan sendiri sejatinya adalah teknologi. Ia adalah alat atau instrumen yang diciptakan dan digunakan manusia untuk mentransformasikan bahasa lisan (spoken language) ke dalam simbol-simbol yang beku. Dengan kata lain, tulisan bisa dipahami sebagai alat untuk menangkap sesuatu yang temporer, yang cepat berlalu, yaitu suara, untuk dimasukkan ke dalam semesta teks yang—sebagaimana teknologi—eksterior bagi manusia serta bersifat kaku nan beku.
Pengandaian tulisan sebagai teknologi ini menemukan momen eksistensialnya saat kita menulis—menulis apa pun, baik surat cinta ataupun artikel ilmiah. Seperti ada gelombang suara dalam pikiran kita yang kemudian—melalui koordinasi yang baik antara syaraf otak dan otot di tangan—suara-suara yang timbul-tenggelam itu ditangkap oleh jari-jari, dibekukan ke dalam bentuk baku tipografi. Pada momen itu terjadi peristiwa pereduksian waktu terhadap ruang. Suara yang awalnya sangat relatif pada waktu namun nyaris tak meruang, kini menjadi entitas fisik yang meruang namun nyaris tanpa kemewaktuan. Singkatnya: menulis adalah momen reduksi suara terhadap abjad.
Reduksi tersebut tak bisa dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Justru karena sifat reduktifnya, tulisan sebagai teknologi dibutuhkan oleh manusia. Ia dibutuhkan untuk mengabadikan lintasan gelombang suara yang hilir-mudik dalam kepala manusia. Dengan penemuan tulisan, manusia tak perlu lagi menyimpan gelombang suara itu dalam memorinya. Suara-yang-dibekukan itu akan tetap ada, bahkan meskipun sumbernya sudah tiada. Apalagi dengan ditemukannya mesin cetak, suara-suara-yang-dibekukan itu dapat dengan mudah dilipatkangandakan untuk kemudian disebar.
Perkembangan dari teknologi tulisan hingga teknologi mesin cetak memberi peluang bagi manusia untuk melampaui batas-batas eksistensialitasnya. Sebelum tulisan ditemukan, produksi dan distribusi pengetahuan sangat bergantung pada subjek-penutur. Namun, sejak tulisan dan mesin cetak ditemukan, subjek-penutur hanya jadi jembatan bagi lalu-lalang ide yang terus menumpuk dalam semesta tekstual. Orang-orang, karenanya, kemudian banyak menggunakan tulisan sebagai instrumen (re)produksi dan distribusi pengetahuan. Saat itulah kritikus sastra macam Roland Barthes mengumandangkan: “pengarang telah mati!”
Oleh karena (re)produksi dan distribusi pengetahuan jadi lebih efektif dengan perangkat teknologis tulisan, maka gerakan literasi menjadi sesuatu yang signifikan untuk dipikirkan. Namun signifikansinya bersifat instrumentalis—bukan karena sesuatu yang imanen dalam dirinya, melainkan karena sesuatu yang lain di luar dirinya. Mari kita coba pikirkan kemungkinan (lain) literasi zaman kini!
Tulisan sebagai teknologi memiliki relasi resiprokal dengan manusia. Proses pembuatan tulisan adalah proses eksteriorisasi dunia mental manusia, sedangkan ketika tulisan itu—yang sudah menjadi eksterior dari manusia—dibaca, maka terjadi proses interiorisasi kembali hal yang eksterior ke dalam diri manusia. Namun bagaimanapun, dalam tulisan itu tetap ada sesuatu yang disembunyikan, yang hilang. Itulah ‘suara’, logos, dari subjek yang baru-baru ini dimaklumatkan kematiannya.
Derridalah yang tanpa ampun mengeksorsis logos dari semesta tekstual. Tulisan sebagai teks, sebagai jejaring penandaan, adalah sesuatu yang di dalam dirinya membawa jejak alteritas perenial[6] Jejak dari sesuatu yang lain yang selalu sudah ditunda kehadirannya, dicegat kemunculannya. Maklumat “Tidak ada apa-apa di luar teks” menegaskan tiadanya petanda transendental, yang berarti tiadanya gelombang suara yang lalu-lalang di pikiran, yang berarti juga tiadanya pikiran rasional dalam skema (re)produksi tekstual. Segalanya imanen di dalam teks; ia membentuk maknanya sendiri yang tak pernah stabil melalui kait-kelindan dengan teks-teks lain (intertekstualitas).
Eksorsis logos dari skema tekstual itu akhirnya membawa bencana krisis rasionalitas. Teks tak pernah bisa dikontrol, ia berkembang secara liar, jauh meninggalkan logos. Apalagi di era sekarang, era media digital, teks-teks datang berhamburan, benar-benar seperti seonggok tubuh tanpa kepala, terus-menerus mereproduksi diri tanpa pikiran rasional. Tak ada nalar kritis di sana, sebab, katanya, memang tidak ada apa-apa di luar semesta teks. Teks-teks itu menggandakan dirinya cukup melalui sambung-menyambung dengan teks-teks lain.
- Baca Juga: Buku dan Silang Pengetahuan
Krisis itu sudah terlihat dalam kehidupan kita hari-hari ini. Kita memang sudah melek tulisan. Jalinan peristiwa, mulai dari kabar seorang teman, berita politik, hingga gosip artis, datang menghampiri kita dalam bentuk teks. Kita membacanya, dan sesekali juga membuat komentar (dalam bentuk tulisan) terhadapnya. Terus-menerus seperti itu, sehingga kita jadi terjerat dalam rajutan teks yang seperti sarang laba-laba. Dalam mekanisme seperti itulah, hoax bekerja, datang mengelabui pikiran kita. Itu sebabnya karena tak ada lagi logos, tak ada lagi kontrol rasional dari pikiran, saat perjumpaan dengan teks. Kita bisa menyebutnya: itu dosa Derrida!
Pada momen itulah sebenarnya kemampuan membaca dan menulis mesti disertai dengan pikiran rasional yang kritis. Gerakan literasi tidak cukup hanya dengan upaya meningkatkan minat membaca dan menulis, tetapi juga mesti bisa memupuk kemampuan berpikir kritis. Mengembalikan nalar kritis dalam skema tekstual berarti mengembalikan sesuatu yang sempat dihilangkan. Gerakan literasi, karenanya, mesti memproyeksikan diri sebagai gerakan untuk membongkar dan melampaui dekonstruksionisme Derridean.
[1] Walter J. Ong menyebut budaya oral ada dua macam: ‘oralitas primer’ (primary orality) dan ‘oralitas sekunder’ (secondary orality). Oralitas primer adalah sebuah budaya yang sama sekali tidak mengenal tulisan, sedangkan oralitas sekunder adalah budaya oral yang masih menyandarkan eksistensinya pada tulisan, semisal oralitas dalam teknologi telepon, radio, televisi, dsb. Lih. Walter J. Ong, Orality and Literacy, New York: Routledge, 2002.
[2] Eksperimen pikiran yang dimaksud adalah eksperimen bumi kembar (twin earth). Eksperimen ini pertama kali dikenalkan oleh Hilary Putnam untuk membuktikan bahwa makna sebuah kata tidak terletak di dalam kepala manusia, tetapi di luar kepala (externalism). Lih. Hilary Putnam, “Meaning and Reference”, The Journal of Philosophy Vol. 70, No. 19, (Nov. 8, 1973), hlm. 699-711.
[3] Walter J. Ong dalam Op.Cit., hlm. 6 juga mengatakan hal serupa: “It would seem inescapably obvious that language is an oral phenomenon”.
[4] “Oral expression can exist and mostly has existed without any writing at all, writing never without orality.” Lih. Ibid., hlm. 8.
[5] Lih. Munro S. Edmonson, Lore: An Introduction to the Science of Folklore and Literature, New York: Holt, Rinehart & Winston, 1971, hlm. 323, 332.
[6] Lih. Pengantar Gayatri Chakravorty Spivak dalam Derrida, Of Grammatology, Baltimore: Johns Hopkins University Press, hlm. XXXIX. “Something that carries within itself the trace of a perennial alterity: the structure of the psyche, the structure of the sign. To this structure Derrida gives the name ‘writing’.”
- Tulisan ini pernah disampaikan dalam Seminar Nasional “Pemuda dan Kemungkinan Literasi Zaman Now” di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada hari Senin, 20 November 2017.
Editor buku-buku nonfiksi Cantrik Pustaka. Mahasiswa lulusan terbaik Filsafat Universitas Gadjah Mada 2019.