Akhir-akhir ini, di Indonesia—terutama di Jogja—lagi ngetren penerbit indie (self-publishing/indie books). Dari saking ngetren-nya, tidak sulit untuk menemukan kontrakan empat kamar yang masing-masing kamar didapuk sebagai dapur redaksi penerbit indie. Kalau dulu penerbit indie hanya menerbitkan karya fiksi terutama antologi puisi, sekarang sudah merambah ke buku-buku nonfiksi.
Penerbit indie sesungguhnya bukan fenomena baru. Di Amerika, misalnya, penerbit indie (self-publishing) mulai marak dan menjadi industri formal sejak paruh kedua abad 20. Hanya saja, di Indonesia, fenomena tersebut baru marak dan ngetren setidaknya lima tahun terakhir ini.
Buku-buku terbitan indie menciptakan respon yang beragam dari pembaca. Ada yang menyambut baik. Tetapi ada pula yang bersikap sinis. Di Amerika sendiri, pada awal-awal perkembangannya, penerbit indie malah mendapat stigma negatif yang berdampak pada minimnya pangsa pasar.
Bahkan, media besar semisal New York Times membuat kebijakan dengan tidak membolehkan pemuatan resensi terhadap buku-buku terbitan indie dalam waktu yang cukup lama. Alasan utama New York Times tentu saja menyangkut kualitas. Sudah mafhum bahwa penerbit indie tidak bertebang-pilih dengan isi karya. Karena prinsipnya adalah: “Menerbitkan Buku Sesukamu”!
Penolakan terhadap buku-buku indie juga dilakukan oleh sejumlah perpustakaan di Amerika Utara. Juris Dilevko dan Keren Dali, dalam The Self-Publishing Phenomenon and Libraries (2006), menyebutkan bahwa hingga muncul “generasi baru”, perpustakaan kampus-kampus ternama tidak mau mengoleksi buku-buku terbitan indie.
Pada tahun 1990-an, di Amerika Utara lahir “generasi baru” penerbit indie. Generasi baru itu diwakili oleh AuthorHouse, iUniverse dan Xlibris yang memiliki pangsa pasar berdaya saing dengan penerbit-penerbit tradisional.
Terlepas adanya pro-kontra di atas, Dilevko dan Dali (2006), mencatat faktor-faktor mendasar yang melahirkan fenomena penerbit indie. Menurut mereka, penerbit indie—atau dalam istilah mereka “author services”—adalah salah satu bentuk alternatif penerbitan yang berupaya mencairkan kekakuan mekanisme penerbit tradisional.
Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Di sini harus ditambahkan bahwa fenomena penerbit indie terjadi karena penerbit-penerbit tradisional dengan skala minor banyak yang gulung tikar gara-gara terdepak oleh sistem kapitalisme monopolis penerbit-penerbit mayor.
Pada tahun 2000-an awal, Jogja dilanda “demam penerbit”. Secara bersamaan, banyak penerbit baru bermunculan. Bahkan kita akan menemukan penerbit di gang-gang sempit, kontrakan yang tak terlalu luas, atau kos-kos mahasiswa sebagai kantornya. Modelnya hampir sama dengan penerbit mayor lainnya yang telah lama mengusai pasar.
Penerbit-penerbit minor ini dengan modal ala kadarnya mampu menerbitkan naskah yang akhirnya sukses tembus dan terpajang di rak-rak toko buku ternama. Pelan tapi pasti penerbit-penerbit macam ini kian merangkak di pasaran. Sayangnya, daya saing penerbit minor tidak dibarengi imunitas di tengah permainan pasar yang rata-rata didikte oleh penerbit mayor yang jauh lebih senior.
Penerbit-penerbit besar—melalui jaringan toko miliknya—mulai mencanang agenda kapitalisasi pangsa pasar. Pertama-tama dibuatlah regulasi baru. Suplai buku dari penerbit minor akan diterima dengan perjanjian: buku yang tidak laku akan diretur secara berkala dan toko tidak bertanggung jawab atas laku-tidaknya buku.
Selanjutnya penerbit mayor melakukan penghancuran sistematis terhadap penerbit minor melalui “permainan suplai-retur”. Suplai buku dari penerbit minor dilipatgandakan sehingga muncul kesan ada persaingan sehat di antara penerbit mayor dan minor. Padahal, ini adalah cara untuk mengerek penerbit minor ke dalam pusaran kapitalisme monopolis yang akan menguntungkan penerbit mayor.
Dengan permintaan suplai yang tinggi, penerbit minor otomatis akan menghabiskan banyak modal untuk memenuhi permintaan tersebut. Sementara penerbit mayor sudah membuat kalkulasi matematis lebih dulu—jika tidak laku (kadang-kadang pihak penerbit mayor sudah tahu bahwa buku terkait tidak akan laku), maka buku tersebut akan dikembalikan ke penerbit minor. Tidak peduli berapa pun jumlahnya.
Penerbit minor yang tidak memiliki jaringan toko buku dengan sendirinya tereliminasi dari pasar karena tak kuasa menanggung beban kerugian setelah buku-buku terbitannya diretur oleh toko buku milik penerbit-penerbit besar. Dengan cara itu, penerbit-penerbit mayor dapat menguasai pasar secara monopolis.
Muslihat kapitalisme penerbitan semakin sempurna berkat tambahan amunisi kekejaman dari distributor-distributor buku. Umumnya, distributor buku yang sudah memiliki jaringan nasional mematok keuntungan di kisaran 60 persen dari bruto harga buku. Hanya 40 persen buat penerbit yang itu pun masih akan dibagi-bagi lagi untuk penulis dan lain-lain.
Bisa dibayangkan bagaimana penerbit minor yang tidak memiliki modal mapan akan cepat kelimpungan. Tanpa disuruh, dengan sendirinya akan tersingkir dan sulit untuk bertahan.
Penerbit-penerbit minor yang tersingkir oleh sistem kapitalisme monopolis bangkit lagi dengan menjelma sebagai penerbit indie. Jamak pula penerbit indie yang lahir bukan jelmaan pernerbit lama. Dengan menerbitkan secara indie, tidak ada lagi bayang-bayang kerugian yang akan ditanggun penerbit. Kini bayang-bayang kerugian itu digilir kepada penulis.
Penerbit indie, dengan demikian, merupakan “generasi baru” dari penerbit minor-tradisional yang sudah punah. Sistem indie tentu saja menyimpan plus-minus. Minusnya adalah soal kualitas yang nyaris tanpa sensor. Asal ada sedikit modal, penulis secara gampangan dapat menerbitkan karyanya.
Kadang-kadang penerbit indie menciptakan kultus narsistik yang menjijikkan. Karena merasa sudah punya karya—meski dalam banyak kasus diterbitkan sendiri oleh penerbit indienya sendiri—lalu dengan kepedean maksimal, mendaulat dirinya berada di atas “mereka”.
Tentu saja tidak ada undang-undang yang melarang narsisme. Hanya saja, penulis besar macam Benjamin Franklin, Walt Withman, Mark Twain dan Virginia Woolf yang pernah menerbitkan bukunya secara indie tidak lantas busung diri di hadapan rekan-rekannya sendiri.