Kita adalah bangsa yang tumbuh pesat dari guyuran cerita lisan dan merangkak di antara sayup-sayup tradisi tulisan. Nenek moyang bangsa kita lebih senang bercerita ketimbang membaca. Cerita mengandalkan ingatan dan pendengaran, sedangkan membaca memerlukan tulisan dan olah pikiran.
“Warisan psikis” itulah—meminjam istilah C.G. Jung—yang barangkali tetap bertahan hingga kini. Angka minat baca masyarakat kita masih rendah dibanding negara tetangga. Tahun lalu UNESCO melaporkan Indonesia sebagai negara terbesar dengan minat baca terendah se-Asia Tenggara.
Itu dapat dibuktikan dengan kuantitas buku yang terbit tiap tahunnya. IKAPI melansir data per Februari 2014, bahwa jumlah produksi buku diperkirakan mencapai 28.000 hingga 30.000 per tahun. Angka tersebut naik 10-20% dari tahun sebelumnya yang berkisar 18.000 per tahun.
Meskipun mengalami peningkatan, jumlah itu tergolong rendah untuk kategori negara yang jumlah penduduknya terbesar keempat di dunia. Sebagai perbandingan, pada tahun 2012 saja, produksi buku di Jepang mencapai 40.000 judul, India 60.000 judul, dan China 140.000 judul (Kompas, 06/12).
Ini menjadi PR besar bagi Indonesia. Idealnya penerbitan buku-buku dalam negeri harus pula diimbangi dengan terjemahan buku-buku luar negeri. Dapat dipastikan, jika persilangan ini terjalin dengan baik, dinamika ilmu pengetahuan akan menggantikan kegemaran bercerita lisan.
Kita tak boleh lupa, bukankah kemajuan peradaban Islam di bawah imperium Abbasiyah disebabkan oleh proyek penerjemahan buku-buku Yunani dan Persia secara besar-besaran!? Proyek penerjemahan berkembang pesat di masa Harun Ar-Rasyid (786-803) dan Al-Ma’mun (813-833). Bahkan, di masa-masa inilah Baitul Hikmah berdiri dan menjadi pusat observatorium terbesar di dunia.
Salah satu faktor dilakukannya penerjemahan adalah adanya tugas untuk mendidik menteri dalam mengatur kerajaan Abbasiyah. Dalam Adab al-Katib, Ibnu Qutaybah (w.889) menyebutkan berkat terjemahan tersebut petinggi kerajaan dapat mengetahui ukuran pengetahuan, ideologi hingga strategi politik lawan (dalam Freely, 2011: 71).
Proyek penerjemahan sesungguhnya adalah usaha persilangan. Hanya dengan persilangan itulah kita dapat memastikan sejauh mana pengetahuan kawan maupun lawan. Dalam konteks bernegara, persilangan pengetahuan dapat dimaknai sebagai bentuk hegemoni yang diselundupkan melalui kantong-kantong ideologi.
Ketidakseimbangan persilangan pengetahuan menyebabkan Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara maju. Dalam “berilmiah” kita tunduk di bawah kendali Barat. Alasan Barat merujuk Indonesia tak lain hanya sebagai “objek pengetahuan”. Kita digali, diteliti, dipasangi kategori-kategori lalu kita “dipaksa” menerimanya dengan senang hati.
Sudah sejak lama, para orientalis menyisir kebudayaan Indonesia, menuliskannya di dalam buku, tidak semata demi pengetahuan tapi juga penaklukan: Indonesia sebagai objek kekuasaan. Buku-buku itu terus dipakai untuk mengontrol hasrat, kuasa serta pengetahuan tentang masyarakat Indonesia.
Buku-buku itu pada akhirnya akan membunuh mental kebudayaan kita. Kecuali kita bersedia mengimbangi dengan meningkatkan penerbitan buku dalam negeri dan menerjemahkan buku-buku luar negeri sebagai bahan kajian dan objek pengetahuan.
Sebab, mengimpor buku untuk menarik minat baca, masih jauh lebih berpahala ketimbang mengimpor beras dari negeri tetangga.