Sering terpikir bahwa pada setiap butir nasi, pada setiap remah roti, pada setiap suwir daging ada usaha dan biaya yang terpakai untuk menghadirkan mereka di meja makan kita. Namun, kebanyakan mata hanya tertuju pada bagaimana upaya menghadirkan mereka di hadapan kita. Perhitungan biaya dan energi selalu ada di sisi produksi, baik ketika masih berada di kawasan pertanian, kawasan industri makanan, atau restoran tempat makan.
Jean Anthelme Brillat-Savarin dalam bukunya Physiologie du goūt atau The Physiology of Taste berkata, “Ceritakan kepada saya apa yang Anda makan, dan saya akan ceritakan siapa Anda sebenarnya.” Dan M Faizi dalam buku ini secara tidak langsung bilang, “Ceritakan kepada saya apa yang Anda makan, dan saya akan ceritakan seberapa besar efek kerusakan alam yang tercipta.”
Pola makan amburadul di tengah masyarakat modern nyatanya tidak hanya berimbas pada kesehatan dan geliat ekonomi, tetapi juga meninggalkan jejak kerusakan pada bumi. Kerusakan bumi yang skala global ternyata bila dirunut, bermula dari meja makan di rumah maupun restoran. Dan ujung prahara besar itu ialah keserakahan manusia salah satunya tampak di meja makan masing-masing.
Buku Merusak Bumi dari Meja Makan ini secara garis besar ialah kumpulan buah pemikiran M. Faizi seorang pengajar pesantren di Madura sekaligus pemikir. Esai-esai pendek dalam buku ini memang dipandang dari segi seorang santri, bukan berarti perkara dalam buku ini terlampau khusus untuk kalangan tertentu. Seperti meja makan, mungkin tampak sempit, tetapi saat sudah dibuka kita akan menemukan luasan cara pandang dalam buku ini.
Makan menurut Faizi telah bergeser makna, dari pemenuhan kebutuhan fisik menjadi pertaruhan kelas. Bicara makanan tidak lagi soal kuantitas yang cukup untuk volume perut dan angka kecukupan gizi, meja makan telah menjadi ajang aktualisasi kelas yang imbasnya perlahan mulai tampak. Menyisakan makanan, menyeleksi makanan untuk kepentingan kelas tertentu, dll.
Selama tiga kali makan sehari, selain kalori coba kita perhatikan berapa sampah yang kita sisakan. Mulai dari bungkus makan, sisa makanan dan minuman yang tak habis di makan, hingga bahan-bahan makanan yang tidak lolos seleksi pasar yang jatuhnya menjadi sampah. Sampah-sampah dari meja makan kita terakumulasi dan menjadi penyumbang kerusakan bumi.
Perkara pertama yang disoroti Faizi adalah bagaimana aktivitas makanan menghasilkan limbah yang mahabesar. Mengutip yang disampaikan Elizabeth Royte dalam artikelnya Jangan Buang Makananmu, limbah makanan yang dibuang orang jika dikumpulkan dan dijadikan sebuah negara akan menjadi penghasil rumah gas rumah kaca terbesar ketiga di muka bumi setelah Tiongkok dan Amerika Serikat. (hal.15)
Hampir bisa dipastikan kita selalu menyisakan makanan di piring masing-masing. Tidak purna habis. Jangan terlampau jauh membicarakan gaya makan di mal atau restoran mewah yang bila piring kita habis-bersih tampak rakus dan tidak sopan, Faizi memberi gambaran sederhana kepada pembaca bahkan di lingkungan rural pun menyisakan makanan menjadi hal wajar. Faizi mengamati gaya makan undangan sebuah pesta perkawinan di kampung. Seolah setiap orang boleh berlomba menumpuk hidangan dalam piring, melimpah hingga tak habis dimakan. Air minum dalam kemasan pun tak tuntas diminum. Mengurus takaran dan ukuran buat makan sendiri saja tidak bisa. Dia bukan tidak mampu menakar, hanya mungkin tidak sempat berpikir dan membuat pertimbangan. (hal.93)
Belum lagi bila menilik kejamnya pasar yang dengan sengaja membuang bahan makanan layak. Kentang berbentuk tak mulus tak layak masuk pasar, jagung sedikit geripis tak boleh dijual adalah beberapa contohnya. Hingga dalam sebuah data disebut bahwa antara 35-50% hasil pertanian dunia tidak dikonsumsi, bila diuangkan kurang lebih senilai 1 triliun dolar Amerika.
Atas nama kelayakan pasar, bahan-bahan makanan yang kebetulan tidak lolos standar mutu pasar harus terbuang sia-sia. Padahal di luar sana banyak orang kelaparan. Ada 800 juta orang yang setiap malam tidur dengan perut lapar, 1 dari 9 orang di planet ini harus lapar dan malnutrisi.
Di sini, orang yang menyisakan remah-remah yang sebetulnya masih layak dimakan oleh mereka yang kekurangan dan kelaparan itu, terjadi setiap hari, dan banyak sekali. (hal.42)
Bila sisa makanan dari meja makan, kita masih bisa berdalih bahwa itu dapat diurai tanah dan tidak membahayakan. Sayangnya, di meja makan kita juga menghasilkan sedotan plastik, botol minum kemasan, tisu, atau styrofoam yang susah diurai alam. Faizi menyindir dengan satire, Adakah yang lebih abadi daripada cinta Majnun kepada Laila? Ada, di antaranya adalah kotak styrofoam, bungkus nasi Majnun dan Laila milenial, bungkus makan siang mereka akan tetap ada di atas tanah saat mereka berdua sudah terkubur di baliknya. (hal.76)
Dalam pemahaman Islam dan agama mana pun, Faizi meyakini tak ada yang mengajarkan untuk bersikap mubazir dan sia-sia. Terlebih bila hal itu kemudian berdampak pada kerusakan bumi. Serakah adalah sifat bawaan manusia sejak zaman purba. Dan serakah di meja dampaknya bisa menghadirkan kerusakan besar bumi.
Manusia yang lahir dan tumbuh dengan kecerdasan akal budi bukan hanya mampu membuat kehidupan lebih layak, tetapi juga menghadirkan kerusakan bumi tak kalah dahsyat. Sebermula kebiasaan-kebiasaan buruk yang kita abaikan terakumulasi menjadi bencana, yang sangat mungkin akan berujung pada kebinasaan bumi dan kehidupan manusia. Faizi menyebut manusia sebagai makhluk ironis.
Sejarah kehidupan diciptakan sekaligus dibinasakan oleh manusia. Dalam buku The Sixth Extinction: An Unnatural History (2014), Elizabeth Kolbert menyebut bahwa tangan manusia-lah yang diam-diam menekan tombol pemusnahan kehidupan di bumi. Ragam aktivitas manusia telah berbuah kerusakan bumi, termasuk bagaimana kita bersikap atas makanan di meja. Sebuah meja makan bisa jadi tempat paling privat untuk mengudap makanan kegemaran. Lebih dari itu, bagi Faizi, meja makan merupakan tempat merenungkan kebiasaan-kebiasaan buruk manusia yang terabaikan namun mengancam.
- Resensi ini sebelumnya pernah terbit di Koran Sindo Sabtu 28 Maret 2020
Esais dan cerpenis. Sekarang bekerja sebagai asisten editor sastra Gramedia Pustaka Utama