Hindia Timur atau Indonesia di posisi masih sebagai negeri jajahan, menjadi observatorium raksasa bagi para naturalis Eropa. Hutan, gunung, kawah, pohon-pohon, sungai, ceruk, flora, dan fauna adalah rumah ilmu pengetahuan diagungkan dan menjangkarkan naturalisme ilmiah sebagai corong pencerahan. Salah satu naturalisme itu bernama Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864) yang memetakan tanah Priangan atau Sunda, terkhusus di abad ke-19.
Hawe Setiawan melakukan interpretasi atas ilustrasi-ilustrasi Junghuhn dalam kajian yang awalnya lahir sebagai disertasi, lalu dibukukan dalam buku Sunda Abad ke-19, Tafsir atas Ilustrasi-ilustrasi Junghuhn (2019).
Andrew Gross dalam buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan, dari Hindia Belanda sampai Orde Baru (2014) membabarkan ambisi pencerahan lewat ilmu pengetahuan yang dibawa oleh para ilmuan akan membawa masyarakat koloni menuju modernitas. Sejak abad ke-18, “mereka berusaha melengkapi keahlian mereka tentang bumi Indonesia dengan menciptakan ilmu pengetahuan yang relevan secara lokal kemudian menyebar secara luas.”
Di Hindia Belanda, pemerintah pun berperan serius menyokong agenda-agenda ilmiah serta melembagakan demi menguatkan otoritas keilmuan Eropa yang kelak memunculkan satu kelas birokrat botani, diistilahkan Gross dengan “floracrats”.
Gross mengatakan Junghuhn sebagai naturalis pertama yang mendeskripsikan Jawa secara mendalam. Selama 13 tahun (1835-1848), sang dokter militer kolonial dan pembawa biji kina ini bertualang menyusuri gunung-gunung di Pulau Jawa dan rutin melaporkan petualangannya di jurnal-jurnal. Gross menulis, “…Junghuhn menunjukkan bagaimana bersentuhan langsung dengan jiwa dari tanah yang diinjaknya.
Melalui pembauran antara pengetahuan arsitektur, medis, dan botani. Pulau Jawa berubah menjadi lebih kuat dan indah. Jawa tergambar jelas dengan batas-batas absolut, massa tanah yang besar tapi terbatas, dapat dikendalikan tapi beragam kondisinya.” Junghuhn menggambarkan bentang alam yang hidup dan teratur, bukan bentuk datar yang kosong seperti dalam peta.
Nuansa hidup inilah yang semacam menjadikan alasan Hawe menyebut karya visual Junghuhn sebagai ikonografis artistik-ilmiah, mulai dari peta topografi, sketsa pemandangan, gambar picturesque dalam cetakan litografi, dan foto.
Hawe mengatakan, “Beragam citraan visual itu dihasilkan dari tiga kegiatan, yakni ‘pemetaan aktual’ yang dimaksudkan untuk memetakan alam, ‘pelukisan figuratif’ yang dimaksudkan untuk menghayati alam, dan pemotretan yang dimaksudkan untuk merekam alam.” Pada abad ke-19, Hindia Timur memasuki kondisi sebagai tanah koloni yang dilihat secara artistik.
Para pelukis dan tukang gambar berdatangan untuk memotret demi kepentingan birokratif, rekreatif, ataupun ilmiah-sains. Mereka juga menentukan pewartaan visual ke Eropa tentang wilayah Timur yang misterius sekaligus menakjubkan.
Junghuhn memulai perjalanan kebumian dari wilayah Priangan pada 1844, dari Bogor, Cianjur, terus ke timur, seperti terekam dalam empat jilid Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw (1854) yang dijadikan Hawe sebagai rujukan utama. Seperti di Java 3, Hawe melihat perpaduan ilmiah dan sastrawi dari cara Junghuhn menuliskan pelanglangannya yang melibatkan aspek geologis, palaentologis, dan kultural.
Ada lima sketsa di jilid ini, di antaranya Gunung Salak dan Gunung Tampomas. Priangan bukan hanya menjangkarkan gairah naturalisme Junghuhn dan tugas mengelola perkebunan kina pertama di Jawa, tapi sekaligus menjadi rumah tempat tinggal sepanjang sisa hayat yang kini dikenal dengan Taman Junghuhn. Rumah Junghuhn berada di Jayagiri dekat dengan Tangkubanparahu.
Hawe mendeskripsikan, “Franz Junghuhn tinggal di Jayagiri, Lembang, sejak 15 Juli 1857. Di tempat kerjanya yang baru, ia memilih sebuah ‘rumah kampung’ bagi dirinya beserta keluarganya di ketinggian 1.300 meter di bukit yang ketika itu masih amat sunyi, dan berjarak 2 mil (15 km) dari Bandung, tempat hunian terdekat waktu itu.”
Pelukisan figuratif Junghuhn mengacu pada Atlas van Platen, Bevattende Elf Pittoreske Gezichten ‘Atlas Bergambar: Berisi Sebelas Pemandangan Elok’ (1850). Seperti ditegaskan dari kesan elok, model figuratif dimaksudkan untuk menggambarkan dan mewarnai alam. Meski tetap menggunakan mata aktual untuk merekam visual, ada kesan emosinal dari pemandangan yang dihasilkan.
Kita cerap saat Junghuhn menggambarkan kawah Patuha, “Lanskap ini terlihat dalam cahaya matahari sore yang telah mendekati cakrawala. Air danau berada di tengah, dalam cekungan terdalam, dengan rentangan warna putih-kehijauan, tapi di tepi-tepiannya, tempat bersinarnya latai berlumpur, warnanya hampir seputih susu.
Sebagian besar di dinding batu ini berada di tempat yang teduh dan hutan yang hijau tampak lebih gelap. Lebih tepat disebut kontras yang indah, sesuai dengan bentuk hutan yang gelap dan batuan dengan warna danau yang putih kehijau-hijauan; karena tidak sedikit gelombang atau alur permukaan yang masih berkedip dalam cahaya matahari yang bergerak.”
Meski dalam kesadaran ilmiah sebagai warga Eropa, Junghuhn sepenuhnya ingin menjadi bagian dari alam yang dilihat, dipijak, dan dipeluknya bukan dalam posisi untuk menguasai atau mengoloni. Ia tidak menempatkan diri dalam superioritas Barat yang melihat tanah jajahan sebagai wilayah yang dieksploitasi atau diberdayakan secara politik.
Seperti kebanyakan tokoh yang sering didera represi dalam keluarga di masa kanak, Junghuhn juga harus mengikuti keinginan ayahnya, Wilhelm Friedrich Junghuhn, menjadi dokter meski begitu menyukai geologi dan botani. Iman Calvinis yang diajarkan dengan teguh dalam keluarga, justru menjadi alasan kuat mengkritik misi-misi agamis yang cenderung menjauhkan manusia dari religiusitas alam.
Di penutupan hayatnya, Junghuhn berhasil pamit pada gunung, hutan, dan udara pegunungan yang begitu dicintainya.
- Artikel ini terbit sebelumnya di Koran Sindo, 1 Februari 2020
Esais, pengajar ekstra menulis di SD Djamaatul Ichwan Program Utama Solo. Tim penulis Semaian Iman, Sebaran Pengabdian (2018)